Selasa, 27 April 2010

Ilalang


Di sebuah tepian ladang, seorang anak memperhatikan ayahnya yang terus saja bekerja. Sang ayah terlihat menggemburkan tanah dengan cangkul, membaurkan pupuk di sekitar tanaman, dan membabat tumbuhan liar di sekitar ladang. Sesekali, sang ayah harus mencabut ilalang. Anak itu terus memperhatikan dengan heran.

“Kenapa ayah melakukan itu? Bukankah ilalang itu masih terlalu kecil untuk dicabut?” teriak si anak sambil berjalan mendekati ayahnya. Ia membawakan air yang baru saja ia tuang ke sebuah gelas kayu. Sambil tangan kiri menghapus peluh, tangan kanan ayah anak itu meraih gelas dari tangan kecil anaknya.

“Anakku, inilah pekerjaan petani. Kelak kamu akan tahu,” jawab sang ayah singkat. Setelah minum, petani itu memanggul cangkul di dekatnya. “Hari sudah sore! Mari kita pulang, Nak!” ucap sang ayah sambil meraih pundak anak lelakinya itu.

Sepulang dari ladang, petani itu sakit. Hingga beberapa hari, ia dan anaknya tidak bisa ke ladang yang jaraknya sekitar satu jam berjalan kaki, naik dan turun. Petani itu tampak gelisah. Ia seperti ingin memaksakan diri berangkat ke ladang.

“Ayah kenapa? Bukankah waktu itu ladangnya sudah ayah bersihkan, dipupuk, dan dipagar,” suara anak itu sambil membantu ayahnya bangun dari tempat tidur. “Itu belum cukup, Nak. Kelak kamu akan tahu!” ucap si petani sambil tertatih-tatih keluar rumah. Ia mengajak anaknya pergi ke ladang.

Setibanya di ladang, anak itu terperangah. Ia seperti tidak percaya apa yang dilihat. Hampir seluruh ladang ditutupi ilalang. Cabai dan tomat yang tumbuh mulai membusuk. Daun-daunnya pun dihinggapi ulat.

“Anakku, inilah yang ayah maksud tugas petani. Kini kamu paham, kenapa ayah gelisah. Karena seorang petani tidak cukup hanya menanam, menebar pupuk, dan memagar tanamannya. Tapi, ia juga harus merawat. Tiap hari, tiap saat!” jelas sang ayah sambil menatap sang anak yang masih terkesima dengan ilalang di sekitar ladang ayahnya.
**

Mereka yang terpilih Allah swt. sebagai pegiat dakwah, sadar betul kalau tugasnya begitu penting, mulia, dan sekaligus berat. Berat karena tugas itu tidak cukup sekadar menanam kesadaran, menebar sarana dakwah, dan memagari ladang dakwah dari terjangan angin dan hewan perusak. Lebih dari itu, ia harus merawat.

Seperti halnya ladang tanaman, ladang dakwah bukan benda mati yang akan lurus-lurus saja kalau ditinggal pergi. Tanahnya hidup. Udara di sekitar pun dinamis. Yang akan tumbuh bukan saja tanaman yang diinginkan, tanaman liar seperti ilalang pun akan tumbuh subur merebut energi kesuburan ladang. Belum lagi telur-telur hama yang hinggap ke daun tanaman setelah berterbangan digiring angin.

Pegiat dakwah persis seperti seorang petani terhadap tanamannya. Ia sebenarnya sedang berlomba dengan ilalang dan hama. Kalau ia tidak sempat merawat, ilalang dan hama yang akan ambil alih. Kelak, jangan kecewa kalau buah-buah tanaman yang akan dipetik sudah lebih dulu membusuk.

Baca Selanjutnya yuk..

Minggu, 25 April 2010

Aku Ingin Mencintaimu dengan sederhana


Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

( sapardi Djoko Damono)

Kesederhanaan adalah sebuah kata yang sejatinya mengacu kepada sikap untuk tidak berlebih-lebihan dan menerima segalanya dengan apa adanya.Sikap inilah yang senantiasa aku teladani dari Bapakku.Seorang lelaki sederhana,tinggal di rumah yang sederhana,dan senantiasa tersenyum dengan sederhana pula.

Dulu ketika kecil,pikiran kanak-kanakku sulit mencerna setiap kata,tindakan,dan sikap yang dilakukan bapak.seringkali otak ku mencerna sesuatu dengan apa adanya,maka yang timbul adalah segala ketidakpuasan terhadap segalanya.seringkali aku meminta sesuatu yang sebenarnya tidak begitu kubutuhkan ketika kecil.Aku hanya berpatokan pada teman yang selalu apapun yang dimintanya,selalu diberikan oleh ayahnya.

sekarang keetika cukup dewasa memahami segala seluk-beluk kehidupan " fana " ini,aku baru sadar,bahkan seharusnya sangat bersyukur,bahwa segala kekecewaan di masa kecilku adalah api terbaik yang menempaku sehingga aku bisa menjadi sesosok lelaki tegar yang tidak mudah jatuh dan rapuh ketika dihantam angin badai kehidupan.

Lelaki sederhana itu tanpa kusadari telah membentuk karakter kuat dalam diriku sehingga yang timbul bukanlah anak yang manja,kolotan,dan mudah putus asa.

Aku ingin kesederhanaan itu terus melekat dalam diriku dan keturunanku nanti.Kesederhanaan adalah buah yang manis tercipta dari intisari kehidupan.

Sekali lagi Aku Ingin Mencintaimu dengan sederhana(my dad).

( special for my dad,you are the best father in my world )

Baca Selanjutnya yuk..

Berilah Mataharimu Sinar Takwa


Potret orang Jepang dari dekat, sebuah kisah kecil yang kebetulan saya tulis sewaktu tinggal di Jepang.

“Ohayo gozaimasu (selamat pagi)”, sapa gadis kecil tetangga rumah, ketika saya hendak mengayun sepeda mengantar Irsyad, anak saya yang paling besar, ke Yochien (TK Jepang). Saya tersenyum karena tanpa sadar ternyata Irsyad sudah menganggukkan kepala dan balik menyapa gadis kecil tadi. Yochien tempat Irsyad sekolah letaknya tak jauh dari rumah, naik sepeda sekitar 5 menit.

Dalam perjalanan, kami lewat di depan rumah Oyasan (pemilik rumah yang kami sewa). Saya lihat dia sedang siap memanen sayur dan buah-buahan di kebun kecil di depan rumahnya yang selalu dia rawat dengan baik. Saya sapa dia dengan melambaikan tangan karena posisinya agak jauh. Tiba-tiba Irsyad menepuk-nepuk punggung saya dan mengatakan, “Abi, hari ini kita bisa makan tomat segar nih.”, dengan mimik muka yang bersemangat. Saya tersenyum, ya memang pada saat musim panen, sering sekali Oyasan memberi kami satu plastik besar berisi tomat, bawang ataupun wortel dari hasil panenan kebunnya.

Sampai di Yochien, Irsyad sudah lari masuk ke kelasnya dengan bawaan yang menurut saya agak kurang pantas untuk seorang anak TK berumur 4 tahun. Dia harus membawa 3 tas besar berisi pakaian ganti, bento (bungkusan makan siang), sepatu ganti, buku-buku, handuk dan sebotol besar minuman yang menggantung di lehernya. Di Yochien setiap anak dilatih untuk membawa perlengkapan sendiri, dan bertanggung jawab terhadap barang miliknya sendiri. Dan si anak juga harus bisa mengenali sendiri mana barang yang milik dia. Saya biasa langsung berangkat ke kampus setelah mengantar Irsyad. Pulang ke rumah sore hari, sudah menunggu istri yang tersenyum dan bercerita bahwa hari ini mendapat kiriman bawang dan tomat dari Oyasan.

Ingin kembali memotret Jepang dari dekat beserta perilaku kehidupan masyarakatnya. Saya sering becanda ke teman-teman bahwa kadang-kadang orang Jepang itu berperilaku lebih Islami daripada saya. Sifat ihtirom (hormat) terhadap orang tua, akhlak terhadap tetangga, saling memberi hadiah kepada orang lain selagi mendapatkan rejeki lebih, kemudian juga dengan sistem pendidikan formal yang mengajarkan moral dan perilaku hidup mandiri dan sopan santun.

Tentu saja dari sisi lain, kita bisa melihat bahwa ada perilaku orang Jepang yang tidak Islami, misalnya budaya minum sake (minuman keras), makan daging babi, kehidupan free sex pada generasi-generasi mudanya, dsb. Pada sisi ini memang cahaya Islam belum sampai kepada mereka. Namun ada sesuatu yang menarik disini bahwa faktor “tidak tahu” itu lebih besar daripada “tidak mau melaksanakan”. Ini terbukti ketika kita cermati perilaku teman-teman Jepang yang akhirnya masuk Islam. Mereka masuk Islam dengan total, dan mereka buang apa yang salah menurut Islam, dan hebatnya mereka sangat teguh dan istiqomah menjalankan ajaran Islam yang baru saja mereka masuki.

Adalah seorang imam masjid Ichinowari, masjid di sebuah kota kecil di pinggiran prefecture Saitama. Ibrahim Okubo, begitulah kita biasa memanggilnya. Beliau adalah orang Jepang yang “baru masuk Islam” belasan tahun yang lalu. Dengan sorban yang selalu tertata rapi di kepala, senyum yang selalu terhias, kegesitannya dalam berdakwah, bagusnya bacaan dan hapalan quran beliau, kita akan semakin tertegun dengan kata-kata penuh hikmah yang keluar dari mulutnya. Sungguh sulit membayangkan bahwa belasan tahun yang lalu, beliau adalah orang Jepang yang suka sekali minum sake ataupun makan daging babi.

Istri saya yang suatu saat mendapat kesempatan mengajar ngaji di sebuah masjid di daerah Tokyo, sering merasa kewalahan memberikan jawaban terhadap rasa ingin tahu muslimah Jepang yang besar, berhubungan dengan hakekat cara baca quran maupun ajaran Islam secara umum. Banyak hal-hal prinsip yang seharusnya wajib kita kuasai tapi luput dari pengetahuan kita karena kita terlena dan terlalu taklid terhadap Islam yang kita peluk dari “warisan” orang tua dan kakek nenek kita. Saya juga tertegun dengan komentar istri saya pada suatu ketika dia berkata, “Orang Jepang meskipun sudah masuk Islam sifatnya tetap seperti orang Jepang. Mereka tetap sopan dan hormat terhadap orang lain, merasa nggak enak kalau anaknya mengganggu anak orang lain, tarbiyah (pendidikan) terhadap anak-anaknya supaya bisa hidup mandiri, dsb”.

Padahal sebenarnya semua ini adalah juga ajaran Islam, milik Islam, dan sudah seharusnya dilaksanakan dengan baik oleh orang Islam. Kita juga sudah terlalu sering mendengarkan nasehat-nasehat seperti ini lewat pengajian di masjid, di radio ataupun siraman rohani di televisi. Mengapa ini semua bisa dilaksanakan dengan baik oleh orang Jepang, tapi kita malah sering sekali melupakannya ?

Mudah-mudahan kita bisa mengambil hikmah dari tulisan ini untuk semakin memotivasi diri kita dalam berakhlak dan berIslam secara total. Tak lupa marilah kita doakan saudara kita dari negeri matahari terbit ini untuk segera memperoleh sinar takwa dari Allah.(Romi satria Wahono,http://romisatriawahono.net/2006/02/06/berilah-mataharimu-sinar-takwa/)

Baca Selanjutnya yuk..

Kemulian

Malam kian larut berselimut gulita
T’lah sekian lama tiada kekasih kucumbu
Demi Allah, bila bukan karena mengingat-Mu
Niscaya ranjang ini t’lah bergoyang
Namun duhai rabbi,
Rasa malu telah menghalangiku…

Hari demi hari berlalu tanpa kesan apa pun, semua dirasakan kosong, semua berlalu secepat petir yang singgah hanya dalam hujan sehari. Perasaan itu seakan berteriak kencang ‘aku butuh teman’….tapi tak seorang pun mampu mendengarnya, lalu dipejamkan matanya, berpikir…’aku dalam kesendirian’.Kungkungan sunyi dan kehampaan hati itu seakan bertanya, adakah seseorang yang mau berbagi. Berbagi dalam suka dan duka, tak peduli pagi, siang dan malam. Dia membutuhkan semua itu, merindukan saat-saat indah itu. Saat ketika rindu menyapa yang membawanya jauh dengan perasaan itu, hasrat itu.

Wanita itu termenung di balik jendela kamarnya. Tatapan matanya kosong. Sementara suasana malam terasa begitu mencekam: dingin dan sepi. Suami tercinta berada di negeri jauh melaksanakan tugas khalifah di medan jihad. Wanita itu nyaris frustrasi karena pertahanan diri mulai terganggu. Wanita shalihah yang tinggal di pinggiran madinah ini lebih suka sendirian dalam kamarnya. Ia seakan hilang dari kehidupan ramai. Apalagi sewaktu udara begitu dingin menusuk tulang. Berkawankan sepi dan dingin, namun dalam suasana demikian mampukah wanita itu melahirkan muraqabatullah.

Syair itu menggambarkan pergulatan batin yang luar biasa, dilantunkan seorang perempuan di zaman Umar bin Khatab. Waktu itu, Umar sedang berkeliling kota dalam kegelapan malam. Dalam perjalanan rutin itu, sampailah beliau ke dekat rumah seorang perempuan yang sedang menahan gejolak biologisnya karena ditinggal berjihad suaminya dalam waktu yang lama. Untuk sekedar menghibur diri sendiri dalam kesepian yang begitu sangat, terlantunkanlah syair itu yang kemudian didengar oleh Umar.
Keterpisahan dengan suami tercinta dalam waktu lama, kesepian, kegelapan malam melambangkan kesuraman yang melanda jiwanya. Kesulitan untuk tidur pada waktu itu mungkin merupakan pengalaman terburuk yang pernah dijumpainya. Penderitaan yang paling menyiksa bagi seseorang yang mengalami kesepian.

Orang yang terjaga dari tidurnya di tengah-tengah kesunyian malam, sangat mudah dipengaruhi oleh alam bawah sadarnya. Bayang-bayang mimpi yang mendatangkan perasaan cemas dan gelisah meninggalkan kesan yang mencekam perasaan. Cara apa pun yang katanya dapat menghapus perasaan was-was itu pada keesokan harinya tidak banyak bermanfaat. Bahkan, sekalipun kita tidak mengalami tekanan perasaan seberat yang dialami wanita tadi, ketakutan-ketakutan (trauma) yang terkubur dalam alam bawah sadar kita menyebabkan kita mudah diserang oleh perasaan cemas dan gelisah itu.

Manusia tanpa kesadaran muraqabatullah akan selalu dahaga, karenanya mereka sangat bernafsu untuk memburu segala sesuatu yang berhubungan dengan hasrat ini. Menyalurkan hasrat rendah ini dalam rel yang berseberangan dengan perintah Allah bukanlah meredakan gairah, tapi malah semakin memacu semangat mendapatkan kemaksiatan yang lain. Faktanya, usaha manusia untuk senantiasa berpacu dalam memenuhi segala hasratnya malah menimbulkan tegangan dan dorongan baru yang harus dikejar dan dipenuhi yaitu “keinginan”.

Keinginan adalah sesuatu yang paradoks: setelah suatu keinginan terpenuhi, timbul keinginan lain untuk segera diselesaikan dan dipenuhi hajatnya. Namun, dalam kerangka kehidupan modern, keinginan haruslah menjadi sesuatu yang tak berujung dan harus selalu diposisikan sebagai pesona yang dapat menyedot hasrat.

Subhanallah, ternyata penderitaan wanita itu tidak berakhir dalam kemaksiatan. Kesetiaannya masih tegak berdiri seperti gunung memaku bumi. Padahal badai hasrat itu begitu kuat seakan tsunami yang melantakkan apa saja. Namun ‘al khauf’ yang menghunjam jiwanya memenangkan Allah atas segalanya. Hatinya dikuasai Allah, kesadaran dzikrullahnya begitu teruji.

Inilah pangkal masalah terbesar yang kita hadapi saat ini yaitu jauh dari Allah, jarang mengingat Allah, dan “dikuasainya” hati kita oleh sesuatu selain Allah. Inilah masalah yang akan mendatangkan banyak masalah lainnya. Saat jauh dari Allah, maka kita akan leluasa berbuat maksiat. Tidak ada lagi rasa malu. Tidak ada lagi rasa diawasi oleh Allah, sehingga tidak ada lagi yang mengendalikan perilaku kita. Maksiat inilah yang kemudian melahirkan ketidaktenangan, kehinaan, dan kesengsaraan hidup.

Sejak temuan kasus ini, maka Umar bersegera menemui putrinya yang tercinta, Hafshah, kemudian bertanya, “Berapa lama seorang perempuan tahan menunggu suaminya ?“ Dijawablah oleh Hafshah, “empat bulan”. Setelah kejadian tersebut, Umar memerintahkan kepada para panglima perang untuk tidak membiarkan seorangpun dari tentaranya meninggalkan keluarganya lebih dari empat bulan. Begitulah kepedulian sekaligus solusi seorang pemimpin seperti Umar di zamannya.

Kemudian apa yang tengah terjadi dengan wanita kita sekarang, dengan isteri-isteri kita, dengan anak-anak kita bahkan dengan ibu-ibu kita. Kalau keterbatasan teknologi di zaman Umar saja nyaris menggelincirkan iman seorang wanita mukminah, bagaimana dengan kita sekarang? Zaman dimana teknologi telah menyatu dengan kehidupan manusia kalaupun belum bisa dikatakan diperbudak teknologi. Hampir tak ada wilayah privacy yang tidak tersentuh produk teknologi ini, bahkan ketika kita menghadap Allah pun ringtone HP masih menyertai. Industrialisasi yang kapitalistik telah menghantarkan wanita sebagai komoditas. Semangat konsumerisme dipompakan dengan begitu hebat. Pengertian konsumsi yang absurd ini dalam kehidupan modern menjadi arena sosial yang menyedot dan menarik minat energi pelampiasan.

Ia menjelma menjadi medan kesadaran yang harus segera dipenuhi dan dipuaskan kebutuhannya. Identitas diri di hadapan lingkungan sosial yang demikian diperebutkan dan dibentuk oleh produk-produk rayuan melalui citra-citra tertentu yang ditawarkan lewat berbagai media massa: Supaya Anda kelihatan jantan dan macho Anda harus mengisap rokok tertentu. Supaya perempuan kelihatan cantik, pergunakanlah kosmetik merek tertentu. Agar Anda dikategorikan sebagai manusia yang tidak ketinggalan zaman, milikilah atribut artis yang lagi ngetop!

Logikanya adalah jika segala hawa nafsu disalurkan demi pemenuhan kenikmatan, ia dapat menjadi semacam dinamo yang pengoperasiannya bisa dilakukan menjadi tanpa batas sehingga akhirnya ia menjelma menjadi sesuatu yang tidak realistis dan membahayakan eksistensi manusia itu sendiri. Oleh karena itu, sangatlah wajar jika para ‘ulama yang shalih, misalnya, memandang manusia seperti ini sebagai manusia yang dibutakan matanya yang hanya tertarik pada kulit ketimbang terpesona untuk mencari dan menemukan isi.

“Apakah engkau tidak perhatikan orang yang telah menjadikan hawa nafsu sebagai tuhannya. Apakah engkau akan dapat menjadi pelindungnya. Atau apakah engkau mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memehami? Mereka itu hanyalah seperti binatang ternak bahkan lebih sesat lagi.” Qs. Al Furqan: 43-44)

Dapat dimengerti jika logika hawa nafsu sanggup memalingkan dan menyamarkan setiap upaya pencarian manusia terhadap nilai-nilai luhur sebab logika hawa nafsu yang mewabah akibat bekerjanya spirit kapitalisme diproduksi oleh apa yang mereka sebut sebagai “mesin hawa nafsu”–sebuah peristilahan psikoanalisis yang mereka gunakan untuk menjelaskan mekanisme produksi “ketidakcukupan” dalam diri seseorang. Keinginan untuk “memiliki” bukan disebabkan “ketidakcukupan alamiah” yang ada dalam diri kita, melainkan hanya untuk memenuhi pencarian identitas yang tidak henti-hentinya. Oleh karena itu, identitas manusia hari ini adalah identitas yang dibangun oleh proses konsumsi dan proses komoditi dari citraan dan rayuan-rayuan media massa.

Iklan-iklan di televisi misalnya, ia beroperasi lewat pengosongan tanda-tanda dari pesan dan maknanya secara utuh sehingga yang tersisa adalah penampakan semata. Sebuah wajah merayu yang penuh atribut dan make-up adalah wajah yang kosong tanpa makna sebab penampakan artifisial dan kepalsuannya menyembunyikan kebenaran diri. Apa yang ditampilkan dari kepalsuan dan kesemuan tersebut menjadi sebuah rayuan bagi para pemirsa. Hingga yang muncul dari sebuah rayuan, bukanlah sampainya pesan dan makna-makna, melainkan munculnya keterpesonaan, ketergiuran, dan gelora hawa nafsu: gelora seksual, gelora belanja, gelora berkuasa.

Sehingga tidak sedikit kita lihat, banyak wanita yang terjebak dengan anggapan bahwa keelokan fisik adalah segala-galanya. Mereka menganggap bahwa kemuliaan dan kebahagiaan akan didapat bila berwajah cantik, kulit yang putih, dan tubuh yang ramping. Maka tidak aneh kalau banyak ditemukan wanita yang mati-matian memperputih kulitnya, mengoperasi plastik bagian tubuhnya, menghambur-hamburkan berjuta-juta uang demi mengejar prestise.

Sementara bagi yang tidak mampu, mereka menjadi rendah diri dan merasa tereliminasi dari pergaulan. Padahal, kecantikan dan kemolekan tubuh tidak dapat dijadikan tolok ukur kemuliaan. Lebih jauh lagi, semua itu tidak bisa menjamin seseorang akan bahagia. Sesungguhnya kemuliaan yang diraih seorang wanita salehah adalah karena kemampuannya untuk menjaga martabatnya (‘iffah) dengan hijab serta iman dan takwa.

Ibarat sebuah bangunan, ia akan berdiri lama jika mempunyai pondasi yang kokoh. Andaikan pondasi sebuah bangunan itu tidak kokoh, maka seindah dan semegah apapun, pasti akan cepat runtuh. Begitu juga dengan iffah yang dimiliki oleh seorang wanita, dengan iman dan takwa merupakan pondasi dasar untuk meraih kemulian-kemulian lain.

Dengan iffah, seorang muslimah akan selalu menjaga akhlaknya. Salah satu ciri bahwa imannya kuat adalah kemampuannya memelihara rasa malu. Sebagaimana terukir dalam hadis Nabi Saw. : ”Malu dan iman itu saling bergandengan, jika hilang salah satunya, maka hilanglah bagian yang lain.” (HR. Hakim dan At-Thabari).

Adanya rasa malu, membuat segala tutur kata dan tindak tanduknya selalu terkontrol. Ia tidak akan melakukan sesuatu yang menyimpang dari bimbingan Al-Quran dan Sunnah. Sehingga dengan akhlak yang dimiliki, ia lebih harum daripada kesturi.

Dengan iffah, seorang muslimah akan sadar betul bagaimana cara bersikap dan bertutur kata. Tidak ada dalam sejarah, seorang wanita salehah centil, suka jingkrak-jingkrak dan menjerit-jerit saat mendapatkan kesenangan. Ia akan sangat menjaga setiap tutur katanya agar bernilai bagaikan untaian mutu manikam yang penuh makna bermutu tinggi.

Tengoklah figur-figur mulia yang mendapatkan tempat terhormat di tengah-tengah umat hingga kini. Khadijah ra. misalnya, namanya terus berkibar sampai sekarang, bahkan setiap anak wanita dianjurkan untuk meneladaninya.

Terkenalnya seorang Khadijah bukan karena kecantikan wajahnya, namun karena pengorbanannya yang demikian fenomenal dalam mendukung perjuangan dakwah Rasulullah Saw. Begitu pun Aisyah ra., salah seorang istri Nabi dan juga seorang cendikiawan muda. Darinya para sahabat mendapat banyak ilmu. Ada pula Asma binti Yazid, seorang mujahidah yang membinasakan sembilan tentara Romawi di perang Yarmuk, hanya dengan sebilah tiang kemah. Masih banyak wanita mulia yang berkarya untuk umat pada masa-masa berikutnya. Keharuman dan keabadian nama mereka disebabkan oleh kemampuan mengembangkan kualitas diri, menjaga iffah (martabat), dan memelihara diri dari kemaksiatan. Sinar kemuliaan mereka muncul dari dalam diri, bukan fisik. Sinar inilah yang lebih abadi.

Baca Selanjutnya yuk..

Fathimah Az-Zahra

one more.....to all of wife in this room.

Imam Nawawi al-Bantani (Al-Jawi) pernah menuliskan keagungan Fathimah Az-Zahra ketika berbicara masalah hak dan kewajiban suami-istri. Berikut ini saya kutip dari Uqudul Lujain karya Imam Nawawi Al-Bantani.

Suatu hari Rasulullah Saw. Menjenguk Az-Zahra. Ketika itu ia sedang
membuat tepung dengan alat penggiling sambil menangis.
“Kenapa menangis, Fathimah?” Tanya Rasulullah, “Mudah-mudahan
Allah tidak membuatmu menangis lagi.”

“Ayah,” Fathimah menjawab, “aku menangis hanya karena batu
penggiling ini, dan lagi aku hanya menangisi kesibukanku yang silih berganti.”
Rasulullah kemudian mengambil tempat duduk di sisinya, kata Abu
Hurairah. Fathimah berkata, “Ayah, demi kemuliaanmu, mintakan kepada ‘Ali
supaya membelikan seorang budak untuk membantu pekerjaan-pekerjaanku
membuat tepung dan menyelesaikan pekerjaan rumah.”


Setelah mendengar perkataan putrinya, Rasulullah bangkit dari tempat
duduknya dan berjalan menuju tempat penggilingan. Beliau memungut
segenggam biji-bijian gandum dimasukkan ke penggilingan. Dengan membaca
bismillahir rahmanir rahim maka berputarlah alat penggiling itu atas ijin
Allah. Beliau terus memasukkan biji-bijian itu sementara alat penggiling terus
berputar sendiri, sambil memuji Allah dengan bahasa yang tidak dipahami
manusia. Ini terus berjalan sampai biji-bijian itu habis.

Rasulullah Saw. berkata kepada alat penggiling itu, “Berhentilah atas ijin
Allah. Seketika alat pengiling pun berhenti. Beliau berkata sambil mengutip
ayat Al-Qur’an, Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.
Penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak pernah
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya, dan mereka selalu
mengerjakan segala yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6).

Merasa takut jika menjadi batu yang kelak masuk neraka, tiba-tiba batu
itu bisa berbicara atas ijin Allah. Ia berbicara dengan bahasa Arab yang fasih.
Batu itu berkata, “Ya, Rasulallah. Demi Dzat yang Mengutusmu dengan hak
menjadi Nabi dan Rasul, seandainya engkau perintahkan aku untuk menggiling
biji-bijian yang ada di seluruh jagat Timur dan Barat, pastilah akan kugiling
semuanya.”

Dan aku mendengar pula, kata Abu Hurairah yang meriwayatkan kisah
ini, nahwa Nabi Saw. bersabda, “Hai Batu, bergembiralah kamu.
sesungguhnya kamu termasuk batu yang kelak dipergunakan untuk
membangun gedung Fathimah di surga.”

Seketika itu, batu penggiling itu bergembira dan berhenti.
Nabi Saw. bersabda kepada putrinya, Fathimah Az-Zahra, “Kalau Allah
berkehendak, hai Fathimah, pasti batu penggiling itu akan berputar sendiri
untukmu. Tetapi Allah berkehendak mencatat kebaikan-kebaikan untuk dirimu
dan menghapus keburukan-keburukanmu, serta mengangkat derajatmu.
Hai Fathimah, setiap istri yang membuatkan tepung untuk suami dan
anak-anaknya, maka Allah mencatat baginya memperoleh kebajikan dari setiap
butir biji yang tergiling, dan menghapus keburukannya, serta mengangkat
derajatnya.

Hai Fathimah, setiap istri yang berkeringat di sisi alat penggilingnya
karena membuatkan bahan makanan untuk suaminya, maka Allah menjauhkan
antara dirinya dan neraka sejauh tujuh hasta.
Hai Fathimah, setiap istri yang meminyaki rambut anak-anaknya dan
menyisirkan rambut dan mencucikan baju mereka, maka Allah mencatatkan
untuknya memperoleh pahala seperti pahala orang yang memberi makan seribu
orang yang sedang kelaparan dan seperti orang yang memberi pakaian seribu
orang yang telanjang.

Hai Fathimah, setiap istri yang mencegah kebutuhan tetangganya, maka
Allah kelak akan mencegahnya (tidak memberi kesempatan baginya) untuk
minum dari telaga Kautsar pada hari kiamat.

Hai Fathimah, tetapi yang lebih utama dari semua itu adalah keridhaan
suami terhadap istrinya. Sekiranya suamimu tidak meridhaimu, tentu aku tidak
akan mendoakan dirimu. Bukankah engkau mengerti, Hai Fathimah, bahwa ridha suami itu bagian
dari ridha Allah, dan kebencian suami merupakan bagian dari kebencian
Allah.
Hai Fathimah, manakala seorang istri mengandung, maka para malaikat
memohon ampun untuknya, setiap hari dirinya dicatat memperoleh seribu
kebajikan, dan seribu keburukannya dihapus. Apabila telah mencapai rasa sakit
(menjelang melahirkan) maka Allah mencatatkan untuknya memperoleh
pahala seperti pahala orang-orang yang berjihad di jalan Allah. Apabila telah
melahirkan, dirinya terbebas dari dosa seperti keadaannya setelah dilahirkan
ibunya.
Hai Fathimah, setiap istri yang tersenyum manis di muka suaminya, maka
Allah memperhatikannya dengan penuh rahmat.

Hai Fathimah, setiap istri yang menyediakan diri tidur bersama suaminya
dengan sepenuh hati, maka ada seruan yang ditujukan kepadanya dari langit.
‘Hai wanita, menghadaplah dengan membawa amalmu. Sesungguhnya Allah
telah mengampuni dosa-dosamu yang berlalu dan yang akan datang.

Hai Fathimah, setiap istri yang meminyaki rambut suaminya, demikian
pula jenggotnya, memangkas kumis dan memotong kuku-kukunya, maka kelak
Allah akan memberi minum kepadanya dari rahiqim makhtum (tuak jernih
yang tersegel) dan dari sungai yang ada di surga. Bahkan kelak Allah akan
meringankan beban sakaratul maut. Kelak ia akan menjumpai kuburnya
bagaikan taman surga. Allah mencatatnya terbebas dari neraka dan mudah
melewati sirath (titian).

Baca Selanjutnya yuk..